Rantai Cobaan
Akhirnya sesuatu yang dikhawatirkan itu terjadi. Setelah satu tahun lebih badan selalu fit dan sehat. Sekarang justru terasa demam dan sakit di tenggorokan, sudah tiga hari ini tidak juga hilang.
Bukannya apa-apa, setiap hari perusahaan selalu mewajibkan karyawan yang masuk agar terlebih dahulu melakukan rapid antigen. Semakin ketat, salah satunya karena direktur terpapar dan dirawat hampir satu bulan. Besok cek rapid dan harus bersiap menerima jika memang ditakdirkan positif.
Akhirnya hasil rapid keluar, dan ternyata dinyatakan positif. Ya Allah padahal prokes sudah diikuti, mungkin Allah punya rencana. Belajar berprasangka yang baik kepada-Nya. Meskipun berita kematian di media membuat agak sedikit ketakutan. Tapi, bukankan semuanya telah ditentukan? Kalau memang ini saatnya, maka saat ini adalah sisa waktu yang harus dipergunakan dengan istimewa dalam kebaikan.
Semua rekan-rekan selalu menyemangati. "Semangat Putri, kamu bisa, ayo tetap ceria jangan panik." Perusahaan atas rekomendasi dokter, menetapkan untuk isolasi karena gejalanya dapat dikatakan ringan. Namun dalam pengawasan, karena khawatir akan terjadi hal yang tidak diinginkan. Isolasi tidak dapat dilakukan di kontrakan sendiri karena padat orang, dan dinyatakan belum layak.
Perusahaan telah menyiapkan ruangan isolasi, dulunya adalah asrama karyawan. Namun sejak pandemi, difungsikan sebagai tempat isolasi bagi siapa saja yang terpapar namun dengan gejala ringan.
"Putri, mungkin kamu merasa dijauhkan dan terasing, sendiri, jauh dari ayah, ibu, kakak, dan teman-teman. Tapi yakinlah, justru kamu lebih dekat kepada Allah. Gunakan sebaik-baiknya. Kakak titip salat awal waktu dan upayakan tadarus yah, doa terbaik untuk kamu adikku sayang. Sehat dan tetep ceriwis yah, hehe...."
Suara kakak lelaki memberi semangat, walau aku yakin kakak tersayangku tetap khawatir. Tapi, betul juga katanya, rasanya belum pernah sedekat ini dengan Allah. Apalagi, waktu juga tidak tahu. Makanya salat selalu diupayakan awal waktu. Bahkan walau dua rakaat, tahajud sengaja didirikan sambil memohon doa agar segera dipulihkan. Suara azan selalu terdengar syahdu, dan menemani kesendirian. Padahal sebelum isolasi, salat lebih sering telat. Tahajud juga jarang, bahkan Subuh aja kesiangan. Begitu juga dengan Al-Qur'an, yang telah lama tidak tersentuh.
Kini, komunikasi lewat videocall dengan ayah dan ibu juga terbilang intens, utamanya bada salat. Ibu selalu bilang, tadi abis doain Putri supaya cepat sehat. Sungguh, doa disertai senyum dan ketulusan mereka, membuatku baper ingin memeluknya.
Apa yang terjadi dengan Putri, membuat saya merenung. Hingga saat ini, saya tidak tahu sampai kapan Allah memperkenankan menghirup udara dengan nyaman. Di tengah sebagian orang yang harus dibantu dengan oksigen. Mati memang sudah ditentukan, tapi semua kejadian saat ini sudah seharusnya menyadarkan. Mumpung masih ada waktu, masih sehat, masih bisa beraktivitas, walaupun terbatas. Mengapa tidak segera menyambut azan, dan salat dengan penuh kekhusyukan? Mengapa tidak bersegera dalam kebaikan? Mengapa tidak segera memohon pemaafan? Mengapa tidak bahagiakan orang-orang tersayang? Adakah karya yang dapat dibanggakan?
Masih ada kesempatan, tidak ada waktu lagi untuk tidak bersyukur. Karena tidak semua orang seberuntung kita saat ini. Jangan sampai kesadaran akan keagungan Allah, baru hadir setelah penyesalan, dengan rantai cobaan.
"Barang siapa tidak mendekat kepada Allah, padahal sudah dihadiahi berbagai kenikmatan, akan diseret (agar mendekat) kepada-Nya dengan rantai cobaan." (Ibnu Atha'illah)
Sumber: Zuhri, Saepudin. (2022). Salat On Time, Karena Mati Any Time. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Posting Komentar untuk "Rantai Cobaan"
Posting Komentar